Biografi R.A Kartini Sebuah Lukisan Nyata Teladan Kehidupan
lintas86.com, Lumajang - Peringatan Hari Kartini hadir kembali pada 21 April 2025. Menjadi pertanyaan bagi kita bersama, “Sudahkan nilai-nilai filosofi ketokohan Kartini telah menjadi pedoman perilaku bagi kita, khususnya kaum wanita Indonesia?”
Sejatinya Kartini adalah Guru kehidupan yang nyata bagi perkembangan wanita Indonesia. Kita tidak boleh terjebak dalam rutinis peringatannya belaka. Nilai religius, konsistensi, dan semangat memperjuangkan nilai-nilai luhur, haruslah menjadi teladan bagi wanita Indonesia. Masalahnya adalah ‘nilai kepribadian Kartini’ masih perlu terus diperjuangkan sehingga ‘harmoni’ dengan keberadaan wanita Gen-Z sekarang. Nilai emansipasi yang ditempelkan kepada sosok Kartini haruslah dimaknai secara utuh. Kartini pada dasarnya ‘memperjuangkan kesetaraan untuk mendapatkan akses pendidikan’. Kartini tidak pernah mengartikan emansipasi sebagai persamaan hak secara menyeluruh dengan laki-laki.
Kartini menyadari sepenuhnya bahwa kehadiran wanita adalah profil seorang ibu. Wanita hadir sebagai istri mendampingi para suami dalam menjalani bahtera rumah tamgga. Hal ini telah dicontohkan oleh RA. Kartini yang menikah dengan Adipati Djoyohadiningrat pada tanggal 12 November 1903. RA. Kartini juga telah melahirkan seorang anak pada tanggal 13 September 1904 yang diberi nama RM. Soesali atau’Singguh’.
Pernikahan RA. Kartini diusia 24 tahun memberikan makna kecakapan dan kemantapan seorang wanita. Masa sekarang, kedewasaan mungkin diusia 17 tahun sebagaimana seoseorang dapat memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan memiliki hak politik. Namun kecakapan dan kemantapan hidup belum tentu seiring dengan usia 17 tahun. Tidak sedikit Wanita yang berusia 17 tahun namun belum memadai secara kecakapan, keterampilan hidup life skills dan soft skills. Khususnya diera Gen-Z, usia seringkali tidak diiirngi kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua pilihan hidupnya. Wanita di era sekarang cenderung melakukan sesuatu tanpa pertimbangan matang diawal. Keberanian tanpa perhitungan justru menjadi trend generasi muda.
Nilai terbesar dari kehidupan Kartini adalah penanaman budaya literasi. Ditengah hegemoni adat budaya, masa pingitan yang berarti berpisah dengan dunia luar oleh kokohnya tembok, justru digunakan untuk membaca buku apa saja yang didapat dari kakaknya. Sejarah lampau ini justru sindiran keras bagi Gen-Z. Berapa jam yang sudah digunakan untuk membaca buku knowledge setiap harinya. Berapa jam platform media sosial berbasis knowledge yang dicermatinya. Hal mana jika tidak disadari, justru akan tenggelam dalam konten-konten yang tidak bermanfaat, hiburan niretika, dan informasi yang mengumbar aib seseorang. Bahkan tidak jarang para wanita terjebak dalam kebahayaan dan perbuatan yang melanggar hukum karena salah dalam memilih sumber literasi.
Konsistensi berpikir tentang pentingnya pendidikan telah dibuktikan dengan meyakinkan oleh RA. Kartini. Walaupun Karitini membatalkan beasiswa melanjutkan sekolahnya ke Belanda namun proses pendidikan tidak boleh terhenti. Kartini berhasil menyelenggarakan Sekolah Pertama Gadis-gadis Priyayi Bumi Putera yang dilakukan di Serambi belakang Pendopo kabupaten Jepara. Sungguh sebuah pekerjaan yang sangat mulia di masanya. Kurikulumnya disebut ‘krida’ artinya “olah; perbuatan; Tindakan; olahraga” (KBBI). Krida bermakna karya, sebuah tindakan yang berkesinambungan. Benar, para gadis-gadis saat itu diberikan keterampilan kewanitaan, kesadaran terus membaca dan belajar. Wanita adalah ‘wani ditata, wani nata’.
Di penghujung tulisan ini, kiranya sangat tidak bijak manakala kita mengartikan ‘emansipasi Kartini’ hanyalah sebuah ‘kebebasan’ dan ‘persamaan hak’. Memaknai ‘emansipasi Kartini’ dengan tidak utuh justru menjadikan hidup dalam ketidakseimbangan. Andai RA. Kartini sekarang masih hidup, tentunya beliau akan berpesan, “emansipasi yang kumaksudkan adalah mendapatkan kesempatan untuk belajar dan meraih pendidikan yang kelak dapat dimanfaatkan untuk peran serta wanita dalam pembangunan bangsa dan negara. Bermanfaat untuk meningkatkan kualitas wanita dalam mendampingi para suami dalam mengarungi kehidupan. Bagi remaja, ‘makna emansipasi’ adalah semangat berliterasi, meraih pendidikan guna menyiapkan dirinya menjadi wanita berkualitas, berkarakter menuju Indonesia Emas 2045.
“Habis Gelap Terbitlah Terang” hendaknya kita maknai sebagai proses terus menerus untuk memperbaiki kualitas diri, bergerak menuju kebaikan, bergegas mewujudkan kerukunan, meningkatkan kesadaran diri dalam menjalani ‘ke-bhinneka-an’. Indonesia sekarang membutuhkan wanita-wanita yang kuat. Wanita yang kuat bukanlah mereka yang selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar saat jatuh. Satu pesan bijak untuk para wanita, “Saat kamu melakukan kesalahan, responslah dengan cara yang penuh kasih, bukannya malah mempermalukan dirimu sendiri“ (Ellie Holcomb)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel ini untuk konten akun media sosial komersial tanpa seizin redaksi lintas86.com Cepat akurat Terpercaya (min)
Penulis:*) Dr. Muchamad Taufiq, S.H., M.H., CLMA.
Editor: M Nur Amin Zabidi
*) Penulis adalah Akademisi Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang, Sekretaris DHC BPK’45 Lumajang, dan Trainer Leaderships dan Diklat Kewirausahaan bersertifikat.